Selasa, 08 Januari 2013

ILMU BUDAYA DASAR


Kajian Kebudayaaan manusia pada zaman pasca modern


Nama : Taufik Akbar. S
Kelas : 1ID01
Npm   :37412306


Kebudayaan Pasca/Post Modern 
Dalam sejarah manusia, kita kenal tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing yaitu pra-modern, modern dan postmodern. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Apalagi setelah pernyataan Rene Descartes, “cogito ergo sum” yang artinya ‘aku berpikir maka aku ada’. Melalui pernyataan tersebut, manusia dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada dirinya sendiri sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya. Pada masa ini munculah berbagai macam teori yang berlaku sampai sekarang. Pada akhirnya yaitu zaman dimana kita berada sekarang yaitu zaman postmodern. Pemikiran pada periode ini menamakan dirinya postmodern, memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
Dalam makalah ini akan dikemukakan sejarah munculnya postmodern sebagai ‘isme’ yang mengritik modernitas, juga akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini beserta ajarana-ajaran pokok meraka.

Pengertian Pascamodern
Istilah pascamodern telah digunakan dalam banyak bidang kehidupan dengan gencar. Istilah ini banyak dibicarakan orang, namun dengan persepsi yang berbeda-beda. Ia digunakan orang di berbagai bidang dengan mencengangkan, namun maknanya menjadi kabur.
Istilah pascamodern digunakan dalam bidang musik, seni rupa, fiksi, drama, fotografi, arsitektur, kritik sastra, antropologi, sosiologi, geografi dan filsafat.
Istilah pascamodern muncul pertama kali di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks istilah ini pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947).
Di sini istilah itu merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat, surutnya individualisme, kapitalisme dan Kekristenan, serta kebangkitan kekuatan budaya non Barat. Disinggung pula di sana tentang pluralisme dan kebudayaan dunia, hal-hal yang masih esensial dalam pengertian tentang pascamodern masa kini.
Dalam bidang sosial ekonomi istilah pascamodern diartikan sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersama dengan makin terbebasnya daya-daya instingtif dan kian membumbungnya kesenangan dan keinginan, akhirnya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi terutama melalui intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural masyarakat.
Di bidang kebudayaan, pascamodern diartikan sebagai logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Pascamodern dimulai dalam tahapan dengan kapitalisme pasca Perang Dunia kedua. Pascamodern muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kepitalisme multinasional kini.
Istilah pascamodern di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
Di bidang kemasyarakatan (sosiologi) secara umum pascamodern diartikan sebagai pola pikir manusia yang bergeser dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.

Karakteristik Masyarakat Pascamodern
Dewasa ini telah terjadi pergeseran yang cepat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi yang menuntun kepada pergeseran dalam pola berpikir manusia.
Beberapa ciri corak hidup dan pola pikir masyarakat pascamodern antara lain:
1. Manusia dipandang sebagai makhluk terpecah. Tidak ada kebenaran padanya; yang ada hanya kebenaran individu yang merupakan pilihan individualis untuk diikutinya.
2. Pascamodern menempatkan akal manusia mengambang dan tidak lagi berkuasa. Banyak kebenaran dapat diikuti dan dipercayai sekalipun saling bertentangan.
3. Dalam pandangan pascamodern tentang teknologi menciptakan masalah untuk ditanganinya sendiri. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa masa depan akan lebih cerah dari sekarang.
4. Pascamodern melihat agama-agama memiliki kebenaran sendiri yang harus diterima sama seperti yang lain. Agama dan kebudayaan yang beragam harus dihargai karena memiliki keunikan masing-masing.
5. Kehidupan masyarakat perkotaan akan semakin sekular, individualistis dan materialistis, tetapi mereka cenderung mencari kelompok-kelompok “primordial”.




Sebab-Sebab Timbulnya Pascamodern
Era pascamodern muncul dengan sendirinya. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pemunculannya. Secara ringkas faktor-faktor itu dapat disebutkan antara lain:
1. Pandangan Dualistis
Telah tumbuh subur pandangan dualistis yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual material, manusia dunia, dan sebagainya. Hal ini telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Akhirnya mengakibatkan krisis ekologi.
2. Pandangan Modern
Pandangan modern yang objektif dan positif akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun di rekayasa bagaikan mesin saja.
3. Krisis Moral dan Religi
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbullah disorientasi moral religius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan sebagainya.
4. Materialisme
Bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dan aturan main utamanya tak lain adalah survival of the fittest, atau dalam skala lebih besar, persaingan pasar bebas. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern.
5. Militerisme
Oleh sebab norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma umum objektif pun cenderung menghilang. Akibatnya, kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa religi dapat menjadi alat legitimasi militerisme.
6. Bangkitnya Tribalisme
Telah muncul kecenderungan dalam masyarakat mentalitas yang mengunggulkan suku dan kelompok sendiri (tribalisme). Ironinya setelah perang dingin berlalu, agama menjadi kategori identitas penting yang cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling bertengkar, yang pada gilirannya justru mendukung tribalisme itu sendiri.


Post-modernitas
Post modernitas adalah keadaan masyarakat ketika menerima dan mempraktikan paham-paham post modernis. Biasanya indikasi terbesar dapat terlihat dari aspek ekonomi, budaya, dan kondisi masyarakat yang biasnya dalam ruang lingkup sebuah negara (riset mengenai ekonomi, budaya, dan kondisi kemasyarakatan akan lebih jelas ketika dilakuan per negara) ketika ‘mengamini dan mengamalkan’ post modern itu sendiri. Postmodernitas pun dapat diartikan sebagai dampak yang terjadi pada masyarakat ketika ditinggalkannya paham-paham kaku yang ditawarkan di zaman modern menjadi masyarakat yang filosofis dan kritis.
Pada era modernisme, masyarakat diarahkan untuk menerima konsep-konsep rasional dan realstis demi mencapai kemajuan di berbagai bidang. Namun sayangnya, ketika rasio dan realita dipegang sebagai acuan utama dalam kebudayan ,muncul indikasi akan hilangnya rasa-rasa kemanusian (humaniora) yang akan mengasingkan manusia dari manusianya. Terjadi sebuah paradoks ketika manusia mencoba untuk mencoba meraih dan menambah kemampan rasio dan kecakapannya dalam menanggapi realitas namun harus menghilangkan sifat dasar dari manusia. Dan postmodernisme hadir sebagai solusi untuk kembali memanusiakan manuisa. Sikap modernisme yang membawa paham sekulirsme, universalisme, pemerataan, dianggap sebagi sebuah paham yang tidak cocok ddengan sifat alamiah manusia yang seyogyanya berbeda. Modernisme sringkali dianggap salah satu gerakan evolusi peradaban manusia yang salah, dan post-modernism lebih berkonotasi positif karena memberikan keleluasan bagi masyarakat untuk menentukan tindakan namun, tentu saja, apa yang dianggap salah pada moderninsme tidak bisa dihilangkan begitu saja. Terbukti bahwa universalisme tetap saja dipegang oleh masyarakt dunia dan tidak serta kembali kepada kearifan lokal.
Salah satu dampak yang cukup menarik dari hadirnya postmodernitas adalah relativisme yang kian rumit untuk dimengerti. Menolak konsep utopia ang ditawarkan oleh modernisme. Paham post modern tentu saja dirasa lebih dalam dan rinci dalam memahami sesutau. Sebut saja dalam estetika, modernisme berpegang teguh pada estetika yang menjadikan keindahan sebagai acuan utama, namun salah satu pelukis ternama, Van Gogh mencoba untuk sedikit mendobrak utopiasme modernisme dengan menampilkan kesenduan dalam karyanya, sehingga cakupan estetika pun tidak terbatas pada indah secara harifah. Kelenturan berfikir ini pun menrambah aspek kemasyrakatan lainnya, ketika nilai benar dan salah dan jtaam dikotomi lainnya kian menjadi abu-abu, dan memang, post modernisme itu sendiri berada pada gray area yang mencoba menangahi keduanya. Bahkan lebih jauh lagi, postmoderniseme mampu melazimkan sesuatu yang tidak lazim, atau bahkan menyimpang. Kembali postmodernisme berpegang pada kelenturan meraka yang tidak menjustifikasi seperti yang dilakukan modernisme, namun lebih mengkritisi dan berada di tengah-tengah dikotomi.
Salah satu dampak postmodernitas yang terjadi secara global dan menyeluruh dan menarik untuk dikritisi adalah masalah ekonomi global. Modernisme yang menjanjinkan kemajuan peradaban dunia dengan digalakannya perdaganagn bebas (karena konsepsi univerasalisme yang mereka pegang) lewat paham pemilik modal dan kapitalisme pun pada akhirnya hanya kaan menguntungkan pihak-pihak pemilik modal yang notabene hanya akan mensejahterakan segelintir pihak. Tidak mensejahteraan masyarakat secara universal, hal ini kemudian dianggap sebagai salah satu kesalahan modernisme yang cukup signifikan. Yang kemudian dilawan oleh post-modernisme. Konsep kapitalisme sudah barang tentu menuai banyak kritisi pedas dari para pengamat budaya. Terlebih karena kapitaslisme selalu berupaya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi sehingga efisisni modal dapat dilakukan, seringkali dalam prakteknya, kapitalisme menghapus nilai-nilai kemanusiaan, dan menenggelamkan manusia dalam keserakahan yang akan menghilangkan sifat-sifat manusianya. Kembali, mengalienasi manusia.
Pada perkembangannya, manusia merasa angin kapitalisme yang kian membutakan manusia dapat berdampak buruk pada masyrakat global dalam skala yang cukup bear dan jangka yang panjang, maka kapitalisme itu pun kemudian dilawan oleh lahirnya paham baru yag disebut post-modernisme yang menwarkan kembali ditiliknya rasa-rasa kemanusiaan ditengah dunia yang kain munafik dan selalu ingin menang sendiri. Timbul suatu paham bahwa kapitalisme dapat menanamkan konsumerisme sebagai cikal bakal penghilangan kemanusiaan. Sikap selektif fan kritis akan menghadapi arus ekonomi pasar bebas adalah solusi menurut post-modernisme. Menghimbau manusianya untuk kembali melihat sekitar dan peduli, menawarkan sebuah dunia baru yang sedikit lebih pengertian. Seidkit menghadirkan paham sosialis yang dahulu selalu dibantah sebagai penyeimbang arus pasar bebas yang kian berubah dah menjauhi manusia.

Pengaruh postmodernisme pada seni rupa
Telah sedikit saya ungkap sebelumnya, postmodernisme mengafeksi aspek-aspek kehidupan scara general dan holistik, pun seni dan estetika. Pada masa modern, seni dicoba untuk dimurnikan dari distorsi-distorsi yang mungkin terjadi karena adanya implementasi dari aspek-aspek yang dahulu melebur dengan seni. Seperti tradisi dan kemasyarakatan. Seni kala itu (masa modern) meminjam konsepsi konsepi modernisme, sepeti universalisme seni, sekulerisme seni, pemurnian dan pengkerucutan seni (klasifikasi yang jelas), dan pengesklusidan seni. berangkat dari pemikiran tersebut perkembangn karya seni menjadi amat kaku. Seni amat ditinggikan dan diperuntukkan bagi kaum ningrat saja. Seni dimurnikan dan terbatas hanya pada masalah estetis saja (pada seni abstrak), tabu dalam membicarakan hal-hal yang bersifat remeh-temeh, dipisahkan dari masyarakat, menunjung orisinalitas, dan dijauhkan dari tradisi. Semua perlakuan diatas merupakan hasil dari pemikiran modernisme yang amat berpegang pada rasionalitas dan realitas, sehingga membatasi ruang berkarya. Seni terbatas pada media seni konvensional yang tinggi orisinilalitas dan amat eksklusif. Sehingga seni lukis dan patunglah yang medominasi penggunaan media pada seni rupa modern. Sedangkan seni grafis dan keramik masih berkonotasi rakyat, tidak ningrat, dianggap tidak seeksklusif media lukis dan patung, namun seiring perkembangannya, kedua media tersebut dipandang patut disejajarkan dengan media seni sebelumnya, seperti yang dilakukan Andy Warhol, yang merusak tatanan media seni tinggi dan seni rendah dengan memadukan keduanya, seperti karya silkscreenya (serigrafi kala itu diangap media rakyat) pada sebuah kanvas (yang biasa digunakan untuk melukis yang berkonotasi seni tinggi).
Dikemudian hari, paham modernisme yang terdapat pada senirupa mendapat resisitensi dari kekritisan pemikiran publik seni. pun mengungkap bahwa terjadi kesalahan pada modernisme seni ini. Hal ini juga dipengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat global yang memasuki gerbang pemikiran filosofis yang dibawa postmodernisme. Bentuk resistensi ini pun dikenal dengan postmodernisme seni yang membawa angin segar dalam dunia seni rupa. Dengan bertambah lenturnya pemikiran publik akan seni, penggunaan media pun menjadi amat tak terbatas bahkan melampaui norma-norma etis. Post modernisme berusaha untuk meminjam pemikiran masa lalu mengenai seni, menitilkberatkan pada meleburnya seni dengan masyarakat dan tradisi. Seni diupayakan untuk kembali melebur dengan keduanya. Diangkatnya kembali isu-isu sosial dalam karya seni tentunya menambah kaya ruang lingkup batasan karya. Seni kembali berfungsi sosial dan pribadi. Seniman kembali diperbolehkan untuk menyisipkan muatan-muatan pribadi dalam karyanya. Selain itu, seni pun dianggap dapat menjadi media yang digunakan untuk mengkritisi masalah sosial yang kian rumit. Diangkatnya kembali hal-hal yang tidak general (umum) dan berskala kecil dan remeh temeh pada karya seni pun tak disia-siakan oleh para seniman untuk menuangkannya pada karya. universalisme seni pun diporak-poranda kan oleh dihalalkannya pengangkatan isu lokal pada karya seni , penanaman kearifan lokal pada karya seni merupakan dampak dari diperbolehkannya pengkaryaan tradisi yang tentu saja bersifat sangat lokal pada karya seni.
Seni pada masa post-modern kian cair dan semakin luas cakupannya, menjajal sebuah babak baru dengan tawaran kebebasan dan kemerdekaan berkarya secara menyeluruh, namun tetap saja, konsekuensi dari konsepsi dasar postmodernisme, yakni kritisisme dan budaya filosofis, menuntut riset yang kian dalam dan meyelurub dalam berkarya, sehingga karya seni dewasa ini tidak terbatas pada pemasalahan visual dan estetis saja, namun juga mengenai pertanggungjawaban gagasan yang dituangkan seniman dalam karyanya. Bahakan tak jarang, pertanggungjawaban karya lebih dipentingkan dan diutamakan. Terutama pada karya-karya seni konseptual dan eksperimental, pertanggungjawaban karya adalah hal yang paling ditamakan. Ini merupakan cerminan dari budaya filosofis dan kritis yang tadi saya utarakan.
Meskipun banyak nilai positif yang bisa dipetik dari seni postmodernisme, tetap timbul sebuah permasalahan yang cukup pelik ketika eksistensi mengenai ruang lingkup postmodernisme itu sendiri. Ketika paham ini mencoba untuk mengembalikan seni ke koridor masa lalu tapi tetap membawa pengaruh-pengaruh modernisme yang amat bertentangan dengan apa yang hendak dikembalikan. Meskipun begitu, banyak pula pemikir mengemukakan bahwa postmodernisme memang berupaya, dan mungkin baru sampai pada tahap ‘meminjam’ pemikiran-pemikiran masa lalu yag dianggap lebih baik. Belum mampu atau bahkan mungkin tidak bisa mengembalikan seni pada konespsi-konsepsi terdahulu. hal ini tercermin dari tetap digalakannya pengeksklusifan seni dan adanya profesi seniman yang notabene adalah produk modernisme. Ketika seni melebur dengan masyarakat, profesi seniman pun melebur dengannya, seniman hanyalah bagian dari masyarakat yang seyogyanya tidak menggembar-gemborkan eksistensinya, dan kemudian berujung pada kepemilikan karya seni yang seharusnya dimiliki publik, mengacu pada anonimisme karya seni pada koridor masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar