KAJIAN KEBUDAYAAN
MANUSIA PADA ZAMAN MODERN
Nama : Taufik Akbar. S
Kelas : 1ID01
Npm : 37412306
Kebudayaan Manusia Zaman Modern
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami
perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi
berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan
pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan.
Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan
yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang
sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap
kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yangsebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu
bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami
perubahan.Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke
samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali
ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme
menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai
kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang
dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam
kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya
hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali
organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada
munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi
dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta
kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme
dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk
menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk
memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama
dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke
arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu
muncul.
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada
diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pol
a hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan
birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari.
Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan
dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah
dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja
yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely
crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama,
kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga
rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu
mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat
birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan
perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih
merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini
mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang
terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga
penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan
untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti
nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara
simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot,
tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang
lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok
yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas
menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul
reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru
atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada
permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada
yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak.
Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin
lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan
Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang
jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern
dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan
Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan
Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut
menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang
memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks.
Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih
hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan
bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang
diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media
komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah
tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup
sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia
bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai
implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen
Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam
aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan
keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern
secara mencolok bersifat instumental.
Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya
sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud
dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah
saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan
supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi
tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan
tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak
dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial,
semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan
dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia
artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas
kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan
diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian
kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah
sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan
membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli,
melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan
membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya
manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat
Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan
hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan
Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum
mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika
Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di
mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca
Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu,
dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti
bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera
estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya,
apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar